Rabu, 24 September 2014

Mengenal Disleksia Sejak Dini


Memiliki anak yang mahir membaca, menulis, mengeja, dan berhitung saat bersekolah tentu menjadi harapan setiap orang tua. Kenyataannya, beberapa anak terbata-bata saat membaca atau memakan waktu lama kala mengeja kata. Sementara anak-anak lain mampu membaca atau mengeja dengan lancar. Jika mendapati anak dengan kondisi itu, orang tua perlu curigai. Bisa jadi sang anak menderita disleksia.

Disleksia merupakan kondisi ketidakmapuan belajar pada anak. Tandanya, anak kesulitan mengenali kata dengan tepat, tidak akurat dalam mengeja dan mengodekan simbol. Juga sulit mengingat huruf atau angka, susah menulis, mengalami keluhan gangguan konsentrasi, serta mudah lupa.

Pengajar psikolinguistik di Departemen Linguistik Universitas Indonesia, Harwintha Yuhria Anjarningsih mengatakan, gangguan kesulitan belajar ini bukan karena anak kurang kecerdasan atau kesalahan dalam pengajaran. “Melainkan karena masalah defisit fonologis, yakni ketidakmampuan anak memahami pemetaan antara grafem atau huruf, dan fonem atau bunyi,” ujarnya kepada Plasadana.com untuk Yahoo Indonesia, Sabtu, 6 September 2014.

Contohnya, penyandang disleksia sulit membedakan antara ‘paku’ dengan ‘palu’. Atau keliru memahami kata-kata yang mempunyai bunyi hampir sama, misalnya ‘lima puluh’ dengan ‘lima belas’. Kesulitan ini bukan disebabkan masalah pendengaran, tetapi berkaitan dengan proses pengolahan input di dalam otak.

Peraih gelar doktor linguistik dari Rijksuiversiteit Groningen, Belanda itu mengatakan, mengenali disleksia sejak dini sangat penting bagi orang tua dan guru. Dengan begitu, si penderita mampu keluar dari kesulitan dan bisa bersekolah dengan baik seperti anak-anak seusianya. “Sayang, Indonesia belum mempunyai sistem resmi untuk mengenali dan membantu penderita disleksia,” kata dia.

Tapi sebenarnya banyak cara untuk membantu pengidap disleksia. Para ahli percaya penerapan metode pengajaran kreatif menggunakan alat peraga dan perangkat teknologi bisa membantu anak mengejar ketertinggalan. Juga intervensi khusus melalui pendekatan konseling pada anak.

Disleksia juga bisa teratasi dengan berusaha keras dan latihan secara terus-menerus sesuai minat si anak. “Atau dengan melatih indera peraba dan mengeskplorasi bidang yang dia kuasai,” kata dia. “Pun mengintervensi anak dengan berlatih menulis di atas laptop.”

Ketika di rumah, Harwintha menyarankan, orang tua dan orang terdekat selalu mendukung anak disleksia dalam belajar. Juga menerapkan teknik pengajaran seperti mengenal huruf, melukis, mewarnai, dan menyusun kepingan puzzle. Ia yakin, cara ini mampu memotivasi dan menumbuhkan kreativitas anak.

Harwintha juga mengingatkan bila kepandaian tidak hanya bisa terukur dengan kemahiran membaca, menulis, dan berhitung. Sebab setiap anak memiliki kelebihan lain yang bisa tereksplorasi. “Anak-anak disleksia biasanya unggul di bidang lain seperti melukis, bermusik, atau berolahraga. Potensi inilah yang seharusnya digali orang tua dan guru,” ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar